REVOLUSI PERANCIS
2.1 Keadaan Perancis Sebelum Adanya
Revolusi
Revolusi
Perancis
(bahasa
Perancis: Révolution
française; 1789–1799), adalah suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik
di Perancis
yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Perancis, dan
lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Monarki
absolut yang telah memerintah Perancis selama berabad-abad runtuh
dalam waktu tiga tahun. Rakyat Perancis mengalami transformasi sosial politik
yang epik; feodalisme,
aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan oleh kelompok
politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-jalan, dan
oleh masyarakat petani di perdesaan.[1]
Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat,
dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh
prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan,
persamaan, dan persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada
monarki lainnya di seluruh Eropa, yang berupaya mengembalikan tradisi-tradisi
monarki lama untuk mencegah pemberontakan rakyat. Pertentangan antara pendukung
dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad berikutnya.
Sebelum
meletus revolusi, masyarakat Prancis terbagi ke dalam tiga golongan politik: pertama,
golongan bangsawan kaya yang berjumlah sekitar 400.000 orang; kedua,
terdiri dari golongan gereja atau agamawan yang berjumlah sekitar 100.000 yang
terdiri dari rahib dan biarawan katolik, pendeta dan uskup; dan ketiga,
meliputi sekitar 99% warga negara Prancis.
Golongan
ketiga ini pun dibagi ke dalam tiga bagian:
(1)
golongan menengah (borjuis) seperti ahli hukum, dokter, pedagang,
pengusaha dan pemilik pabrik;
(2) kaum buruh dan pekerja, dan;
Hak-hak
politik dan hak-hak istimewa dapat dimiliki seseorang bergantung dari
kedudukannya dalam golongannya tersebut. Masyarakat Prancis merasakan adanya
ketidakadilan sebagai akibat dari perbedaan pemberian hak dan kewajiban khususnya
pada golongan yang ke tiga
2.2 Latar belakang Revolusi Perancis
a)
Ketidakadilan Politik dan Ekonomi
Kaum bangsawan memegang peranan yang sangat penting dalam
bidang politik, sehingga segala sesuatunya ditentukan oleh bangsawan sedangkan
raja hanya mengesahkan saja. Ketidakadilan dalam bidang politik dapat dilihat
dari pemilihan pegawai-pegawai pemerintah yang berdasarkan keturunan dan bukan
berdasarkan profesi atau keahlian, Hal ini menyebabkan administrasi negara
menjadi kacau dan berakibat munculnya tindakan korupsi. Ketidakadilan politik
lainnya adalah tidak diperkenankannya masyarakat kecil untuk ikut
berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.
Penyebab
lain meletusnya Revolusi Prancis adalah masalah keuangan yang disebabkan oleh
pengeluaran yang berlebihan oleh raja-raja Prancis pada tahun 1600-1700-an.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, raja Prancis menggunakan sistem pajak
kepada rakyatnya. Namun, sistem pajak yang digunakan tidak mampu memberikan
keadilan bagi rakyatnya. Golongan I dan II bebas dari pajak tertentu. Sebagian
borjuis yang kaya juga terbebas dari pajak dengan cara membeli surat lisensi
bebas pajak, sedangkan golongan III, yakni para petani dan buruh, dikenakan
semua jenis pajak antara lain pajak diri, pajak penghasilan, pajak tanah dan
rumah, pajak garam, dan pajak anggur.
b) Lemahnya Wibawa Raja Perancis
Raja Prancis seperti Louis XV dan
XVI menyadari bahwa masalah keuangan negara dapat teratasi bila setiap orang
atau golongan membayar pajak. Akan tetapi karena mereka tidak memiliki
kewibawaan dalam menindak golongan I dan II, maka golongan tersebut tetap memiliki
hak-hak istimewa dan bebas dari pajak.
c)
Absolutisme Monarki
Absolutisme monarki adalah suatu bentuk pemerintahan
kerajaan yang rajanya berkuasa secara mutlak dan tidak dibatasi oleh
undang-undang. Dalam pemerintahan ini, nasib negara berada di tangan raja. Raja
Louis XVI adalah raja yang tidak memiliki kewibawaan, tidak mampu membuat
keseragaman administrasi dan bersifat depotisme serta feodalisme. Hal ini
mengakibatkan banyak para pejabat pemerintahan yang melakukan penyelewengan dan
ketidakadilan bagi rakyat.
2.3 Proses Berlangsungnya Revolusi
Perancis
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, salah satu penyebab adanya revolusi perancis yakni
karena, rakyat
sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan.
Kekuasaan raja yang absolut dan penarikan pajak yang memberatkan menjadi faktor
utama pendorong Revolusi Perancis. Sementara faktor-faktor yang turut mendorong
revolusi tersebut adalah: merosotnya perekonomian Perancis akibat pemborosan
kaum bangsawan; tidak adanya kepastian hukum; perbedaan yang menyolok antar
golongan dalam masyarakat; Revolusi Amerika; Glorious Revolution (1689) dan
pemikiran-pemikiran para ilmuwan besar seperti John Locke dan kawan-kawan.
Meletusnya Revolusi Perancis ditandai dengan
diserangnya Penjara Bastile oleh rakyat Perancis pada tanggal 14 Juli 1789.
Penyerangan atas penjara tersebut di dasarkan paling tidak pada 3 alasan,
yaitu:
(1) penjara Bastile merupakan gudang persenjataan dan makanan;
(2) membebaskan tawanan politik yang dapat mendukung gerakan revolusi;
(3) membebaskan orang-orang tidak berdosa yang telah ditangkap dan
dipenjarakan secara semena-mena ke dalam penjara Bastile.
Sebagai
tindak lanjut dalam mengatasi permasalahan keuangan sebagai latar belakang
adanya revolusi perancis, Raja Louis XVI berusaha menerapkan pajak kepada
Golongan I dan II. Akan tetapi tindakan ini mengalami kegagalan karena tidak
disetujui oleh golongan bangsawan. Golongan ini berpendapat bahwa semua pajak
yang baru yang akan diterapkan harus mendapat persetujuan dari Estates
General atau Badan Legislatif yang merupakan badan perwakilan dari ke tiga
golongan masyarakat Prancis.
Masyarakat
Perancis mengharapkan agar Estates General dapat berperan dalam
kehidupan politik di Prancis. Namun, dalam tubuh Estates General sendiri
terdapat perselisihan pendapat tentang tata cara pemungutan suara (voting)
di antara ke tiga golongan. Golongan I dan II menghendaki voting dilakukan
oleh golongan mereka (estates). Sedangkan golongan III menyadari bahwa
jumlah mereka jauh lebih banyak dan menghendaki agar voting dilakukan secara
individual.
Perselisihan
tersebut diakhiri dengan pengusiran anggota golongan III dari tempat sidang
pertemuan oleh Louis XVI. Golongan III tersebut akhirnya bersidang di lapangan
tenis tertutup (jeu de pume). Di tempat tersebut mereka membentuk Dewan
Nasional atau National Assembly atas anjuran Abbe Syies pada
tanggal 17 Juni 1789.
Hal
ini dianggap sebagai awal dimulainya Revolusi Prancis. Tuntutan Dewan Nasional
adalah menuntut adanya peran politik yang besar dalam pemerintahan serta
diakuinya hak-hak mereka dan meminta terbentuknya undang-undang atau konstitusi
bagi Prancis sesuai dengan sumpah Jeu de Paume.
Pada
9 Juli 1789 terbentuklah Assembly National Constituante (Dewan Nasional
Konstituante) yang terdiri dari perwakilan semua golongan yang bertugas membuat
rancangan undang-undang dasar. Lahirnya lembaga ini menunjukkan lemahnya
kedudukan dan kewibawaan Raja Louis XVI dan keberanian Assembly National.
Bastille adalah sebuah benteng pertahanan kota Paris yang dibangun pada tahun
1300. Benteng ini diubah menjadi penjara bagi tawanan politik yang membahayakan
kekuasaan raja.
Penyerangan
penduduk Prancis ke penjara Bastille dilatarbelakangi oleh kabar tentang
pengumpulan pasukan kerajaan yang berjumlah 20.000 orang untuk membubarkan
Dewan Nasional dan melawan revolusi. Alasan lain penyerbuan penduduk terhadap
penjara Bastille adalah raja bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, rakyat
ingin menghancurkan simbol kekuasaan raja, rakyat ingin membebaskan para tokoh
dan pimpinan politik yang di penjara yang seluruhnya berjumlah 7 orang.
Singkatnya, Bastille adalah simbol dari kejahatan Raja Louis. Dikeluarkannya “Deklarasi
Hak-hak Manusia dan Warga Negara” (Declaration des Droits de I’home et
du Citoyen) pada tanggal 26 Agustus 1789 oleh pihak kerajaan, telah memicu
rakyat Paris untuk memberontak.
Melalui
deklarasi ini rakyat Prancis memiliki hak kemerdekaan, hak milik, hak keamanan
dan hak perlindungan dari tindakan kekerasan. Dalam deklarasi ini juga dinyatakan
bahwa semua orang memiliki persamaan (equality) di depan hukum, memiliki
hak untuk berbicara, memilih agama dan kebebasan pers. Inti deklarasi ini
merujuk pada ajaran Rousseau yang memuat asas kedaulatan rakyat, kemerdekaan,
persaudaraan dan persamaan.
Prinsip-prinsip
kemerdekaan (liberty), persamaan (equality), dan hak-hak alami (natural
right) dirumuskan kembali dalam konstitusi Prancis yang baru. Pada dasarnya
konstitusi tersebut berisi jaminan hak-hak rakyat dan pembatasan kekuasaan
raja. Raja Louis XVI menerima konstitusi tersebut sehingga corak pemerintahan
Prancis menjadi monarki konstitusional, yang berarti kerajaan yang mempunyai
undang-undang dasar.
2.4
Tokoh-tokoh Revolusi Perancis
Tokoh-tokoh pada masa revolusi perancis yakni merupakan tokoh-tokoh
penggugah semangat rakyat melalui tulisan dan pemikirannya. Pada pertengahan
abad ke-18 di Perancis bermunculan para penulis dan filsuf terkenal.
Tulisan-tulisan yang mereka buat banyak menyinggung kelemahan dan kesalahan
pemerintah, seperti ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Adapun
tokoh-tokoh pembaharu tersebut di antaranya:
(a) Jhon Locke (1632-1704), adalah
tokoh pemikir yang berasal dari Inggris. Ia memperkenalkan sistem monarki
parlementer. Sebuah negara berbentuk kerajaan (monarki) yang dibatasi oleh
suatu undang-undang (konstitusi)
(b) Montesquieu (1689-1755), yang menulis buku berjudul Lesprit
des Lois (Jiwa Undang-undang) yang menerangkan sejarah undang-undang dan
peraturan pemerintah beserta kelebihan dan kelemahannya. Inti dari buku
tersebut menerangkan kekuasaan negara yang dibagi ke dalam tiga kekuasaan yakni
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang dikenal dengan nama Trias Politica.
(c) J.J. Rousseau (1712-1778),, seorang filsuf yang menaruh
perhatian terhadap pelaksanaan kedaulatan dan persamaan rakyat dan menganjurkan
agar Prancis melaksanakan sistem pemerintahan demokrasi. Atas idenya tersebut
ia dianggap sebagai “Bapak Demokrasi Modern”.
(d) Voltaire (1694-1778), seorang tokoh pembaharu yang
bersifat kritis terhadap pemerintah. Ia mengecam peraturan-peraturan negara dan
menyatakan bahwa pemerintahan Raja Louis XVI bukanlah sebuah pemerintahan
demokratis melainkan pemerintahan otokrasi yang berpusat pada kekuasaan seorang
raja. Dalam hal ini raja menjalankan pemerintahan bukan untuk kepentingan
rakyat akan tetapi untuk kepentingan pribadi atau golongan.
2.5 Dampak adanya Revolusi Perancis
Semangat
Revolusi Perancis dengan cepat menjalar dan membawa pengaruh yang luas dalam
berbagai bidang. Akibat Revolusi Perancis, baik bagi Perancis maupun bagi dunia
dapat dirinsi sebagai berikut:
·
Bagi Perancis
1) Bidang politik
1) Bidang politik
a)
Nasionalisme menjadi diperkuat dan mencapai puncak pada masa
pemerintahan Kaisar Napoleon;
b)
Undang-Undang Dasar merupakan kekuasaan
tertinggi;
c)
Timbulnya pengertian republik. Mula-mula
revolusi Perancis bersifat liberal (1789-1792), kemudian bersifat radikal
(1792-1795). Dalam masa radikal inilah pemerintahan disusun secara republik.
Pemerintahan raja dianggap dianggap kurang tepat karena secara turun temurun.
Timbullah ide republik yang kepala negara dipilih oleh rakyat;
d)
Timbulnya ide tentang aksi revolusioner,
yaitu penggunaan kekuatan rakyat dalam revolusi.
2) Bidang ekonomi
a)
Kapitalisme berkembang karena yang berkuasa
adalah golongan borjuis;
b)
Petani menjadi pemilik tanah, bukan lagi
penyewa tanah;
c)
Penghapusan sistem pajak feodal;
d)
Penghapusan gilde dan berkembang
perdagangan bebas;
e)
Timbulnya industri besar. Hal ini
dimungkinkan karena Napoleon banyak memberi subsidi pada industri-industri
besar.
3) Bidang sosial
a)
Dihapuskannya feodalisme;
b)
Adanya susunan masyarakat yang baru,
yakni petani, buruh, golongan pertengahan, dan kapitalis;
c)
Terciptanya bangsawan baru dalam
masyarakat bukan karena keturunan, tapi karena berjasa pada Negara;
d)
Pendidikan dan pengajaran yang merata
untuk semua lapisan masyarakat;
·
Bagi Dunia
1) Akibat Politik
1) Akibat Politik
a)
Tersebarnya paham liberalisme ke
berbagai negara di Eropa;
b)
Semboyan Revolusi Perancis “Liberte,
Egalite, Fraternite” (Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan) menggema ke berbagai
negara Eropa dan menjadi spirit dalam melawan raja-raja absolut;
c)
Tersebarnya paham demokrasi;
d)
Nasionalisme di Eropa timbul sebagai akibat tindakan
sewenang-wenang Napoleon terhadap negara-negara Eropa yang hampir seluruhnya
berhasil dikuasai;
e)
Aksi revolusioner di Perancis dalam masa
revolusi ditiru oleh negara-negara Eropa lainnya.
2) Akibat Ekonomi
a)
Berkembangnya industri-industri di
Eropa;
b)
Kehidupan perdagangan baralih dari daerah
pantai Eropa ke pedalaman;
c)
Inggris kehilangan pasar di Eropa.
3) Akibat Sosial
a)
Penghapusan feodalisme;
b)
Pendidikan dan pengajaran yang merata
untuk semua lapisan masyarakat.
c)
Code Napoleon
digunakan oleh masyarakat Eropa. Belanda menerapkannya hingga tahun 1838,
Jerman sampai tahun 1910. Code Napoleon
besar pengaruhnya dalam hukum di negara-negara Eropa.
2.6 Dampak Revolusi Perancis bagi
Indonesia
Kemenangan
Revolusi Prancis ternyata sangat memengaruhi pergerakan nasionalisme yang
sedang berkembang di Indonesia. Faham-faham seperti demokrasi dan nasionalisme
merupakan pelajaran berharga bagi tokoh-tokoh pergerakan (yang kebanyakan
mahasiswa) guna memperjuangkan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman
kaum kolonialis yang kapitalis. Mereka mendirikan berbagai partai politik dengan
menggunakan faham tertentu sebagai landasan perjuangannya. Sementara itu,
peristiwa Revolusi Bolsheviks di Rusia melahirkan semangat dan kepercayaan baru
bahwa kaum buruh dan petani dapat meruntuhkan negara yang kapitalis juga
imperialis, Namun berbeda dengan kaum nasionalis yang menghendaki bernegara dan
berbangsa, kaum komunis cenderung menghendaki adanya Negara merdeka yang berada
dalam naungan komunisme internasional, di mana tak ada lagi “pertentangan
kelas, yang ada hanya rakyat yang berkuasa”. Ajaran komunis tidak
memperjuangkan lahirnya sebuah “nation” atau bangsa yang merdeka tanpa harus
terikat oleh ideologi lain. Ia hanya ingin menghapuskan sistem kapitalisme dan
liberalisme yang mendewakan mesin dan modal.
Revolusi Perancis berdampak pada kehidupan sosial
di Indonesia. Hal itu mengakibatkan dengan munculnya golongan terpelajar akibat
adanya politik etis. Golongan terpelajar inilah yang peduli akan nasib
bangsanya. Selain itu Revolusi Perancis juga berdampak pada datangnya hak asasi
manusia.
Mereka ingin menyelamatkan bangsanya dari
kebodohan dan ketebelakangan akibat muncunya nasionalisme demokrasi dan
munculnya hak asasi manusia. Oleh karena itu, mereka mendirikan
organisasi-organisasi kebangsaan yang bertujuan memajukan bangsanya.
2.7 Kondisi Perancis Pasca Revolusi
Setelah
berlangsunya revolusi Perancis, di Perancis menganut beberapa bentuk
pemerintahan, diantaranya:
a) Pemerintahan Monarki Konstitusional
(1789-1793)
Pada 14 Juli 1789 merupakan langkah
awal yang diambil oleh pemerintah revolusi, yaitu dengan dibentuk Pasukan
Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Jendral Lafayette. Selanjutnya
dibentuk Majelis Konstituante untuk menghapus hak-hak istimewa raja, bangsawan,
dan pimpinan gereja. Semboyan rakyat segera dikumandangkan oleh J.J. Rousseau
yaitu liberte, egalite dan fraternite. Dewan perancang
undang-undang terdiri atas Partai Feullant dan Partai Jacobin. Partai Feullant
bersifat pro terhadap raja yang absolut, sedangkan Partai Jacobin menghendaki
Prancis berbentuk republik.
Mereka beranggotakan kaum Gerondin
dan Montagne di bawah pimpinan Maxmilien de’Robespierre, Marat, dan Danton.
Pada masa ini juga raja Louis XVI dijatuhi hukuman pancung (guillotine)
pada 22 Januari 1793 pada saat itu bentuk pemerintahan Prancis adalah republik.
b) Pemerintahan Teror atau Konvensi Nasional
(1793-1794)
Pada masa ini pemegang kekuasaan
pemerintahan bersikap keras, tegas, dan radikal demi penyelamatan negara.
Pemerintahan terror dipimpin oleh Robespierre dari kelompok Montagne. Di
bawah pemerintahannya setiap orang yang kontra terhadap revolusi akan dianggap
sebagai musuh Prancis. Akibatnya dalam waktu satu tahun terdapat 2.500 orang
Prancis dieksekusi, termasuk permaisuri Louis XVI, Marie Antoinette.
Hal ini menimbulkan reaksi keras
dari berbagai pihak. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum Girondin.
Robespierre ditangkap dan dieksekusi dengan cara dipancung bersama dengan 20
orang pengikutnya. Pada Oktober 1795 terbentuklah pemerintahan baru yang lebih
moderat yang disebut Pemerintahan Direktori.
c) Pemerintahan Direktori atau Direktorat
(1795-1799)
Pada masa Direktori, pemerintahan
dipimpin oleh lima orang warga negara terbaik yang disebut direktur.
Masing-masing direktur memiliki kewenangan dalam mengatur masalah ekonomi,
politik sosial, pertahanan-keamanan, dan keagamaan. Direktori dipilih oleh
Parlemen. Pemerintah direktori ini tidak bersifat demokratis sebab hak pilih
hanya diberikan kepada pria dewasa yang membayar pajak.
Dengan demikian wanita dan penduduk
miskin tidak memiliki hak suara dan tidak dapat berpartisipasi. Pada masa
pemerintahan direktori, rakyat tidak mempercayai pemerintah karena sering
terjadinya tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang berakibat
terancamnya kesatuan nasional Prancis. Akan tetapi, dari segi militer Prancis
mengalami kemajuan yang pesat, hal ini berkat kehebatan Napoleon Bonaparte.
Ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah ini berhasil dimanfaatkan Napoleon
untuk merebut pemerintahan pada tahun 1799.
d) Pemerintahan Konsulat (1799-1804)
Pemerintahan konsulat dibagi ke
dalam tiga bagian, yaitu Napoleon sebagai Konsulat I, Cambaseres sebagai
Konsulat II, dan Lebrun sebagai Konsulat III. Akan tetapi dalam
perjalanan sejarah selanjutnya Napoleon berhasil memerintah sendiri. Di bawah
pimpinan Konsulat Napoleon, Perancis berhasil mencapai puncak kejayaannya.
Tidak hanya dalam bidang militer akan tetapi juga dalam bidang sosial, politik,
ekonomi, dan budaya. Pada tahun 1803 Napoleon terpilih sebagai kaisar Prancis
atas dasar voting dalam sidang legislatif. Penobatannya dilaksanakan
pada 2 Desember 1804 oleh Paus VII.
e) Masa Pemerintahan Kaisar (1804-1815)
Napoleon sebagai kaisar dimulai
dengan pemerintahannya yang bersifat absolut. Hal ini jelas tidak disukai oleh
rakyat Prancis. Napoleon memiliki keinginan untuk mengembalikan kekuasaan raja
secara turun-temurun dan menguasai seluruh wilayah Eropa. Ia mengangkat
saudara-saudaranya menjadi kepala Negara terhadap wilayah yang berhasil
ditaklukannya. Oleh karena itu, pemerintahan Napoleon disebut juga pemerintahan
nepotisme.
Pemerintahan kekaisaran berakhir
setelah Napoleon ditangkap pada tahun 1814 setelah kalah oleh negara-negara
koalisi dan dibuang di Pulau Elba. Karena kecerdikannya Napoleon
berhasil melarikan diri dan segera memimpin kembali pasukan Prancis untuk
melawan tentara koalisi selama 100 hari. Namun, karena kekuatan militer yang
tak seimbang, akhirnya Napoleon mengalami kekalahan dalam pertempuran di Waterloo
pada tahun 1915. Dia dibuang ke pulau terpencil di Pasifik bagian selatan, St.
Helena sampai akhirnya meninggal pada tahun 1821.
f) Pemerintahan Reaksioner
Rakyat merasa tidak senang terhadap
sistem pemerintahan absolute yang dilakukan oleh Napoleon. Oleh karena itu
rakyat kembali memberi peluang pada keturunan Raja Louis XVIII untuk
menjadi raja di Prancis kembali (1815-1842). Raja yang berkuasa pada saat
sistem pemerintahan Reaksioner, selain Raja Louis XVIII, adalah Raja Charles
X (1824-1840) dan Raja Louis Philippe (1830-1848).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar