Rabu, 10 Desember 2014

REVOLUSI PERANCIS



2.1  Keadaan Perancis Sebelum Adanya Revolusi
Revolusi Perancis (bahasa Perancis: Révolution française; 1789–1799), adalah suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik di Perancis yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Perancis, dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Monarki absolut yang telah memerintah Perancis selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun. Rakyat Perancis mengalami transformasi sosial politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan oleh kelompok politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-jalan, dan oleh masyarakat petani di perdesaan.[1] Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada monarki lainnya di seluruh Eropa, yang berupaya mengembalikan tradisi-tradisi monarki lama untuk mencegah pemberontakan rakyat. Pertentangan antara pendukung dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad berikutnya.
Sebelum meletus revolusi, masyarakat Prancis terbagi ke dalam tiga golongan politik: pertama, golongan bangsawan kaya yang berjumlah sekitar 400.000 orang; kedua, terdiri dari golongan gereja atau agamawan yang berjumlah sekitar 100.000 yang terdiri dari rahib dan biarawan katolik, pendeta dan uskup; dan ketiga, meliputi sekitar 99% warga negara Prancis.
Golongan ketiga ini pun dibagi ke dalam tiga bagian:
(1) golongan menengah (borjuis) seperti ahli hukum, dokter, pedagang, pengusaha dan pemilik pabrik;
(2) kaum buruh dan pekerja, dan;
(3) golongan petani.
Hak-hak politik dan hak-hak istimewa dapat dimiliki seseorang bergantung dari kedudukannya dalam golongannya tersebut. Masyarakat Prancis merasakan adanya ketidakadilan sebagai akibat dari perbedaan pemberian hak dan kewajiban khususnya pada golongan yang ke tiga
2.2  Latar belakang Revolusi Perancis

a)      Ketidakadilan Politik dan Ekonomi
Kaum bangsawan memegang peranan yang sangat penting dalam bidang politik, sehingga segala sesuatunya ditentukan oleh bangsawan sedangkan raja hanya mengesahkan saja. Ketidakadilan dalam bidang politik dapat dilihat dari pemilihan pegawai-pegawai pemerintah yang berdasarkan keturunan dan bukan berdasarkan profesi atau keahlian, Hal ini menyebabkan administrasi negara menjadi kacau dan berakibat munculnya tindakan korupsi. Ketidakadilan politik lainnya adalah tidak diperkenankannya masyarakat kecil untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.
Penyebab lain meletusnya Revolusi Prancis adalah masalah keuangan yang disebabkan oleh pengeluaran yang berlebihan oleh raja-raja Prancis pada tahun 1600-1700-an. Untuk menanggulangi masalah tersebut, raja Prancis menggunakan sistem pajak kepada rakyatnya. Namun, sistem pajak yang digunakan tidak mampu memberikan keadilan bagi rakyatnya. Golongan I dan II bebas dari pajak tertentu. Sebagian borjuis yang kaya juga terbebas dari pajak dengan cara membeli surat lisensi bebas pajak, sedangkan golongan III, yakni para petani dan buruh, dikenakan semua jenis pajak antara lain pajak diri, pajak penghasilan, pajak tanah dan rumah, pajak garam, dan pajak anggur.
b) Lemahnya Wibawa Raja Perancis
Raja Prancis seperti Louis XV dan XVI menyadari bahwa masalah keuangan negara dapat teratasi bila setiap orang atau golongan membayar pajak. Akan tetapi karena mereka tidak memiliki kewibawaan dalam menindak golongan I dan II, maka golongan tersebut tetap memiliki hak-hak istimewa dan bebas dari pajak.
c)      Absolutisme Monarki
Absolutisme monarki adalah suatu bentuk pemerintahan kerajaan yang rajanya berkuasa secara mutlak dan tidak dibatasi oleh undang-undang. Dalam pemerintahan ini, nasib negara berada di tangan raja. Raja Louis XVI adalah raja yang tidak memiliki kewibawaan, tidak mampu membuat keseragaman administrasi dan bersifat depotisme serta feodalisme. Hal ini mengakibatkan banyak para pejabat pemerintahan yang melakukan penyelewengan dan ketidakadilan bagi rakyat.


2.3  Proses Berlangsungnya Revolusi Perancis

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu penyebab adanya revolusi perancis yakni karena, rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Kekuasaan raja yang absolut dan penarikan pajak yang memberatkan menjadi faktor utama pendorong Revolusi Perancis. Sementara faktor-faktor yang turut mendorong revolusi tersebut adalah: merosotnya perekonomian Perancis akibat pemborosan kaum bangsawan; tidak adanya kepastian hukum; perbedaan yang menyolok antar golongan dalam masyarakat; Revolusi Amerika; Glorious Revolution (1689) dan pemikiran-pemikiran para ilmuwan besar seperti John Locke dan kawan-kawan.
Meletusnya Revolusi Perancis ditandai dengan diserangnya Penjara Bastile oleh rakyat Perancis pada tanggal 14 Juli 1789. Penyerangan atas penjara tersebut di dasarkan paling tidak pada 3 alasan, yaitu:
(1) penjara Bastile merupakan gudang persenjataan dan makanan;
(2) membebaskan tawanan politik yang dapat mendukung gerakan revolusi;
(3) membebaskan orang-orang tidak berdosa yang telah ditangkap dan dipenjarakan secara semena-mena ke dalam penjara Bastile.
Sebagai tindak lanjut dalam mengatasi permasalahan keuangan sebagai latar belakang adanya revolusi perancis, Raja Louis XVI berusaha menerapkan pajak kepada Golongan I dan II. Akan tetapi tindakan ini mengalami kegagalan karena tidak disetujui oleh golongan bangsawan. Golongan ini berpendapat bahwa semua pajak yang baru yang akan diterapkan harus mendapat persetujuan dari Estates General atau Badan Legislatif yang merupakan badan perwakilan dari ke tiga golongan masyarakat Prancis.
Masyarakat Perancis mengharapkan agar Estates General dapat berperan dalam kehidupan politik di Prancis. Namun, dalam tubuh Estates General sendiri terdapat perselisihan pendapat tentang tata cara pemungutan suara (voting) di antara ke tiga golongan. Golongan I dan II menghendaki voting dilakukan oleh golongan mereka (estates). Sedangkan golongan III menyadari bahwa jumlah mereka jauh lebih banyak dan menghendaki agar voting dilakukan secara individual.
Perselisihan tersebut diakhiri dengan pengusiran anggota golongan III dari tempat sidang pertemuan oleh Louis XVI. Golongan III tersebut akhirnya bersidang di lapangan tenis tertutup (jeu de pume). Di tempat tersebut mereka membentuk Dewan Nasional atau National Assembly atas anjuran Abbe Syies pada tanggal 17 Juni 1789.
Hal ini dianggap sebagai awal dimulainya Revolusi Prancis. Tuntutan Dewan Nasional adalah menuntut adanya peran politik yang besar dalam pemerintahan serta diakuinya hak-hak mereka dan meminta terbentuknya undang-undang atau konstitusi bagi Prancis sesuai dengan sumpah Jeu de Paume.
Pada 9 Juli 1789 terbentuklah Assembly National Constituante (Dewan Nasional Konstituante) yang terdiri dari perwakilan semua golongan yang bertugas membuat rancangan undang-undang dasar. Lahirnya lembaga ini menunjukkan lemahnya kedudukan dan kewibawaan Raja Louis XVI dan keberanian Assembly National. Bastille adalah sebuah benteng pertahanan kota Paris yang dibangun pada tahun 1300. Benteng ini diubah menjadi penjara bagi tawanan politik yang membahayakan kekuasaan raja.
Penyerangan penduduk Prancis ke penjara Bastille dilatarbelakangi oleh kabar tentang pengumpulan pasukan kerajaan yang berjumlah 20.000 orang untuk membubarkan Dewan Nasional dan melawan revolusi. Alasan lain penyerbuan penduduk terhadap penjara Bastille adalah raja bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, rakyat ingin menghancurkan simbol kekuasaan raja, rakyat ingin membebaskan para tokoh dan pimpinan politik yang di penjara yang seluruhnya berjumlah 7 orang. Singkatnya, Bastille adalah simbol dari kejahatan Raja Louis. Dikeluarkannya “Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara” (Declaration des Droits de I’home et du Citoyen) pada tanggal 26 Agustus 1789 oleh pihak kerajaan, telah memicu rakyat Paris untuk memberontak.
Melalui deklarasi ini rakyat Prancis memiliki hak kemerdekaan, hak milik, hak keamanan dan hak perlindungan dari tindakan kekerasan. Dalam deklarasi ini juga dinyatakan bahwa semua orang memiliki persamaan (equality) di depan hukum, memiliki hak untuk berbicara, memilih agama dan kebebasan pers. Inti deklarasi ini merujuk pada ajaran Rousseau yang memuat asas kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persaudaraan dan persamaan.
Prinsip-prinsip kemerdekaan (liberty), persamaan (equality), dan hak-hak alami (natural right) dirumuskan kembali dalam konstitusi Prancis yang baru. Pada dasarnya konstitusi tersebut berisi jaminan hak-hak rakyat dan pembatasan kekuasaan raja. Raja Louis XVI menerima konstitusi tersebut sehingga corak pemerintahan Prancis menjadi monarki konstitusional, yang berarti kerajaan yang mempunyai undang-undang dasar.


2.4 Tokoh-tokoh Revolusi Perancis
Tokoh-tokoh pada masa revolusi perancis yakni merupakan tokoh-tokoh penggugah semangat rakyat melalui tulisan dan pemikirannya. Pada pertengahan abad ke-18 di Perancis bermunculan para penulis dan filsuf terkenal. Tulisan-tulisan yang mereka buat banyak menyinggung kelemahan dan kesalahan pemerintah, seperti ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Adapun tokoh-tokoh pembaharu tersebut di antaranya:
(a)  Jhon Locke (1632-1704), adalah tokoh pemikir yang berasal dari Inggris. Ia memperkenalkan sistem monarki parlementer. Sebuah negara berbentuk kerajaan (monarki) yang dibatasi oleh suatu undang-undang (konstitusi)
(b)  Montesquieu (1689-1755), yang menulis buku berjudul Lesprit des Lois (Jiwa Undang-undang) yang menerangkan sejarah undang-undang dan peraturan pemerintah beserta kelebihan dan kelemahannya. Inti dari buku tersebut menerangkan kekuasaan negara yang dibagi ke dalam tiga kekuasaan yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif yang dikenal dengan nama Trias Politica.
(c)  J.J. Rousseau (1712-1778),, seorang filsuf yang menaruh perhatian terhadap pelaksanaan kedaulatan dan persamaan rakyat dan menganjurkan agar Prancis melaksanakan sistem pemerintahan demokrasi. Atas idenya tersebut ia dianggap sebagai “Bapak Demokrasi Modern”.
(d) Voltaire (1694-1778), seorang tokoh pembaharu yang bersifat kritis terhadap pemerintah. Ia mengecam peraturan-peraturan negara dan menyatakan bahwa pemerintahan Raja Louis XVI bukanlah sebuah pemerintahan demokratis melainkan pemerintahan otokrasi yang berpusat pada kekuasaan seorang raja. Dalam hal ini raja menjalankan pemerintahan bukan untuk kepentingan rakyat akan tetapi untuk kepentingan pribadi atau golongan.

2.5  Dampak adanya Revolusi Perancis

Semangat Revolusi Perancis dengan cepat menjalar dan membawa pengaruh yang luas dalam berbagai bidang. Akibat Revolusi Perancis, baik bagi Perancis maupun bagi dunia dapat dirinsi sebagai berikut:

·         Bagi    Perancis
1) Bidang politik

a)         Nasionalisme menjadi diperkuat dan mencapai puncak pada masa pemerintahan Kaisar Napoleon;
b)        Undang-Undang Dasar merupakan kekuasaan tertinggi;
c)         Timbulnya pengertian republik. Mula-mula revolusi Perancis bersifat liberal (1789-1792), kemudian bersifat radikal (1792-1795). Dalam masa radikal inilah pemerintahan disusun secara republik. Pemerintahan raja dianggap dianggap kurang tepat karena secara turun temurun. Timbullah ide republik yang kepala negara dipilih oleh rakyat;
d)        Timbulnya ide tentang aksi revolusioner, yaitu penggunaan kekuatan rakyat dalam revolusi.

2)  Bidang ekonomi
a)         Kapitalisme berkembang karena yang berkuasa adalah golongan borjuis;
b)         Petani menjadi pemilik tanah, bukan lagi penyewa tanah;
c)         Penghapusan sistem pajak feodal;
d)        Penghapusan gilde dan berkembang perdagangan bebas;
e)         Timbulnya industri besar. Hal ini dimungkinkan karena Napoleon banyak memberi subsidi pada industri-industri besar.
3) Bidang sosial
a)         Dihapuskannya feodalisme;
b)        Adanya susunan masyarakat yang baru, yakni petani, buruh, golongan pertengahan, dan kapitalis;
c)         Terciptanya bangsawan baru dalam masyarakat bukan karena keturunan, tapi karena berjasa pada Negara;
d)        Pendidikan dan pengajaran yang merata untuk semua lapisan masyarakat;


·         Bagi    Dunia
1) Akibat Politik

a)         Tersebarnya paham liberalisme ke berbagai negara di Eropa;
b)        Semboyan Revolusi Perancis “Liberte, Egalite, Fraternite” (Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan) menggema ke berbagai negara Eropa dan menjadi spirit dalam melawan raja-raja absolut;
c)         Tersebarnya paham demokrasi;
d)        Nasionalisme di Eropa timbul sebagai akibat tindakan sewenang-wenang Napoleon terhadap negara-negara Eropa yang hampir seluruhnya berhasil dikuasai;
e)         Aksi revolusioner di Perancis dalam masa revolusi ditiru oleh negara-negara Eropa lainnya.

2) Akibat Ekonomi
a)         Berkembangnya industri-industri di Eropa;
b)         Kehidupan perdagangan baralih dari daerah pantai Eropa ke pedalaman;
c)         Inggris kehilangan pasar di Eropa.

3) Akibat Sosial
a)         Penghapusan feodalisme;
b)         Pendidikan dan pengajaran yang merata untuk semua lapisan masyarakat.
c)         Code Napoleon digunakan oleh masyarakat Eropa. Belanda menerapkannya hingga tahun 1838, Jerman sampai tahun 1910. Code Napoleon besar pengaruhnya dalam hukum di negara-negara Eropa.

2.6  Dampak Revolusi Perancis bagi Indonesia
Kemenangan Revolusi Prancis ternyata sangat memengaruhi pergerakan nasionalisme yang sedang berkembang di Indonesia. Faham-faham seperti demokrasi dan nasionalisme merupakan pelajaran berharga bagi tokoh-tokoh pergerakan (yang kebanyakan mahasiswa) guna memperjuangkan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum kolonialis yang kapitalis. Mereka mendirikan berbagai partai politik dengan menggunakan faham tertentu sebagai landasan perjuangannya. Sementara itu, peristiwa Revolusi Bolsheviks di Rusia melahirkan semangat dan kepercayaan baru bahwa kaum buruh dan petani dapat meruntuhkan negara yang kapitalis juga imperialis, Namun berbeda dengan kaum nasionalis yang menghendaki bernegara dan berbangsa, kaum komunis cenderung menghendaki adanya Negara merdeka yang berada dalam naungan komunisme internasional, di mana tak ada lagi “pertentangan kelas, yang ada hanya rakyat yang berkuasa”. Ajaran komunis tidak memperjuangkan lahirnya sebuah “nation” atau bangsa yang merdeka tanpa harus terikat oleh ideologi lain. Ia hanya ingin menghapuskan sistem kapitalisme dan liberalisme yang mendewakan mesin dan modal.
Revolusi Perancis berdampak pada kehidupan sosial di Indonesia. Hal itu mengakibatkan dengan munculnya golongan terpelajar akibat adanya politik etis. Golongan terpelajar inilah yang peduli akan nasib bangsanya. Selain itu Revolusi Perancis juga berdampak pada datangnya hak asasi manusia.
Mereka ingin menyelamatkan bangsanya dari kebodohan dan ketebelakangan akibat muncunya nasionalisme demokrasi dan munculnya hak asasi manusia. Oleh karena itu, mereka mendirikan organisasi-organisasi kebangsaan yang bertujuan memajukan bangsanya.
2.7  Kondisi Perancis Pasca Revolusi

Setelah berlangsunya revolusi Perancis, di Perancis menganut beberapa bentuk pemerintahan, diantaranya:
a)      Pemerintahan Monarki Konstitusional (1789-1793)

            Pada 14 Juli 1789 merupakan langkah awal yang diambil oleh pemerintah revolusi, yaitu dengan dibentuk Pasukan Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Jendral Lafayette. Selanjutnya dibentuk Majelis Konstituante untuk menghapus hak-hak istimewa raja, bangsawan, dan pimpinan gereja. Semboyan rakyat segera dikumandangkan oleh J.J. Rousseau yaitu liberte, egalite dan fraternite. Dewan perancang undang-undang terdiri atas Partai Feullant dan Partai Jacobin. Partai Feullant bersifat pro terhadap raja yang absolut, sedangkan Partai Jacobin menghendaki Prancis berbentuk republik.
            Mereka beranggotakan kaum Gerondin dan Montagne di bawah pimpinan Maxmilien de’Robespierre, Marat, dan Danton. Pada masa ini juga raja Louis XVI dijatuhi hukuman pancung (guillotine) pada 22 Januari 1793 pada saat itu bentuk pemerintahan Prancis adalah republik.

b)       Pemerintahan Teror atau Konvensi Nasional (1793-1794)

            Pada masa ini pemegang kekuasaan pemerintahan bersikap keras, tegas, dan radikal demi penyelamatan negara. Pemerintahan terror dipimpin oleh Robespierre dari kelompok Montagne. Di bawah pemerintahannya setiap orang yang kontra terhadap revolusi akan dianggap sebagai musuh Prancis. Akibatnya dalam waktu satu tahun terdapat 2.500 orang Prancis dieksekusi, termasuk permaisuri Louis XVI, Marie Antoinette.
            Hal ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum Girondin. Robespierre ditangkap dan dieksekusi dengan cara dipancung bersama dengan 20 orang pengikutnya. Pada Oktober 1795 terbentuklah pemerintahan baru yang lebih moderat yang disebut Pemerintahan Direktori.

c)       Pemerintahan Direktori atau Direktorat (1795-1799)

            Pada masa Direktori, pemerintahan dipimpin oleh lima orang warga negara terbaik yang disebut direktur. Masing-masing direktur memiliki kewenangan dalam mengatur masalah ekonomi, politik sosial, pertahanan-keamanan, dan keagamaan. Direktori dipilih oleh Parlemen. Pemerintah direktori ini tidak bersifat demokratis sebab hak pilih hanya diberikan kepada pria dewasa yang membayar pajak.
            Dengan demikian wanita dan penduduk miskin tidak memiliki hak suara dan tidak dapat berpartisipasi. Pada masa pemerintahan direktori, rakyat tidak mempercayai pemerintah karena sering terjadinya tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang berakibat terancamnya kesatuan nasional Prancis. Akan tetapi, dari segi militer Prancis mengalami kemajuan yang pesat, hal ini berkat kehebatan Napoleon Bonaparte. Ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah ini berhasil dimanfaatkan Napoleon untuk merebut pemerintahan pada tahun 1799.

d)       Pemerintahan Konsulat (1799-1804)

            Pemerintahan konsulat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu Napoleon sebagai Konsulat I, Cambaseres sebagai Konsulat II, dan Lebrun sebagai Konsulat III. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah selanjutnya Napoleon berhasil memerintah sendiri. Di bawah pimpinan Konsulat Napoleon, Perancis berhasil mencapai puncak kejayaannya. Tidak hanya dalam bidang militer akan tetapi juga dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pada tahun 1803 Napoleon terpilih sebagai kaisar Prancis atas dasar voting dalam sidang legislatif. Penobatannya dilaksanakan pada 2 Desember 1804 oleh Paus VII.

e)       Masa Pemerintahan Kaisar (1804-1815)

            Napoleon sebagai kaisar dimulai dengan pemerintahannya yang bersifat absolut. Hal ini jelas tidak disukai oleh rakyat Prancis. Napoleon memiliki keinginan untuk mengembalikan kekuasaan raja secara turun-temurun dan menguasai seluruh wilayah Eropa. Ia mengangkat saudara-saudaranya menjadi kepala Negara terhadap wilayah yang berhasil ditaklukannya. Oleh karena itu, pemerintahan Napoleon disebut juga pemerintahan nepotisme.
            Pemerintahan kekaisaran berakhir setelah Napoleon ditangkap pada tahun 1814 setelah kalah oleh negara-negara koalisi dan dibuang di Pulau Elba. Karena kecerdikannya Napoleon berhasil melarikan diri dan segera memimpin kembali pasukan Prancis untuk melawan tentara koalisi selama 100 hari. Namun, karena kekuatan militer yang tak seimbang, akhirnya Napoleon mengalami kekalahan dalam pertempuran di Waterloo pada tahun 1915. Dia dibuang ke pulau terpencil di Pasifik bagian selatan, St. Helena sampai akhirnya meninggal pada tahun 1821.

f)        Pemerintahan Reaksioner


            Rakyat merasa tidak senang terhadap sistem pemerintahan absolute yang dilakukan oleh Napoleon. Oleh karena itu rakyat kembali memberi peluang pada keturunan Raja Louis XVIII untuk menjadi raja di Prancis kembali (1815-1842). Raja yang berkuasa pada saat sistem pemerintahan Reaksioner, selain Raja Louis XVIII, adalah Raja Charles X (1824-1840) dan Raja Louis Philippe (1830-1848).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar